Kamis, 02 Mei 2013

HUKUM PERIKATAN


1.        Pengertian Hukum Perikatan 

Perikatan dalam bahasa Belanda disebut “ver bintenis”. Istilah perikatan ini lebih umum dipakai dalam literatur hukum di Indonesia. Perikatan dalam hal ini berarti ; hal yang mengikat orang yang satu terhadap orang yang lain. Hal yang mengikat itu menurut kenyataannya dapat berupa perbuatan, misalnya jual beli barang. Dapat berupa peristiwa, misalnya lahirnya seorang bayi, meninggalnya seorang. Dapat berupa keadaan, misalnya; letak pekarangan yang berdekatan, letak rumah yang bergandengan atau letak rumah yang bersusun (rusun). Karena hal yang mengikat itu selalu ada dalam kehidupan bermasyarakat, maka oleh pembentuk undang-undang atau oleh masyarakat sendiri diakui dan diberi ‘akibat hukum’. Dengan demikian, perikatan yang terjadi antara orang yang satu dengan yang lain itu disebut hubungan hukum.
Jika dirumuskan, perikatan adalah adalah suatu hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih di mana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu. Hubungan hukum dalam harta kekayaan ini merupakan suatu akibat hukum, akibat hukum dari suatu perjanjian atau peristiwa hukum lain yang menimbulkan perikatan. Dari rumusan ini dapat diketahui bahwa perikatan itu terdapat dalam bidang hukum harta kekayaan (law of property), juga terdapat dalam bidang hukum keluarga (family law), dalam bidang hukum waris (law of succession) serta dalam bidang hukum pribadi(pers onal law).
Menurut ilmu pengetahuan Hukum Perdata, pengertian perikatan adalah suatu hubungan dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih dimana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu.

Beberapa sarjana juga telah memberikan pengertian mengenai perikatan. Pitlo memberikan pengertian perikatan yaitu suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara dua orang atau lebih, atas dasar mana pihak yang satu berhak (kreditur) dan pihak lain berkewajiban (debitur) atas suatu prestasi.
pengertian perikatan menurut Hofmann adalah suatu hubungan hukum antara sejumlah terbatas subjek-subjek hukum sehubungan dengan itu seorang atau beberapa orang daripadanya (debitur atau pada debitur) mengikatkan dirinya untuk bersikap menurut cara-cara tertentu  terhadap pihak yang lain, yang berhak atas sikap yang demikian itu.
Istilah perikatan sudah tepat sekali untuk melukiskan suatu pengertian yang sama yang dimaksudkan verbintenis dalam bahasa Belanda yaitu suatu hubungan hukum antara dua pihak yang isinya adalah hak an kewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut.
Dalam beberapa pengertian yang telah dijabarkan di atas, keseluruhan pengertian tersebut menandakan bahwa pengertian perikatan yang dimaksud adalah suatu pengertian yang abstrak, yaitu suatu hal yang tidak dapat dilihat tetapi hanya dapat dibayangkan dalam pikiran kita. Untuk mengkonkretkan pengertian perikatan yang abstrak maka perlu adanya suatu perjanjian. Oleh karena itu, hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah demikian, bahwa perikatan itu dilahirkan dari suatu perjanjian.
Di dalam hukum perikatan, terdapat sistem yang terbuka, dan yang dimaksud dengan system terbuka adalah setiap orang dapat mengadakan perikatan yang bersumber pada perjanjian, perjanjian apapun dan bagaimanapun, baik itu yang diatur dengan undang-undang atau tidak, inilah yang disebut dengan kebebasan berkontrak, dengan syarat kebebasan berkontrak harus halal, dan tidak melanggar hukum, sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-undang.
Di dalam perikatan ada perikatan untuk berbuat sesuatu dan untuk tidak berbuat sesuatu. Yang dimaksud dengan perikatan untuk berbuat sesuatu adalah melakukan perbuatan yang sifatnya positif, halal, tidak melanggar undang-undang dan sesuai dengan perjanjian. Sedangkan perikatan untuk tidak berbuat sesuatu yaitu untuk tidak melakukan perbuatan tertentu yang telah disepakati dalam perjanjian. Contohnya; perjanjian untuk tidak mendirikan bangunan yang sangat tinggi sehingga menutupi sinar matahari atau sebuah perjanjian agar memotong rambut tidak sampai botak.
2.      Dasar Hukum Perikatan
Dasar hukum perikatan berdasarkan KUH Perdata terdapat tiga sumber yaitu :
1. Perikatan yang timbul dari persetujuan.
2. Perikatan yang timbul dari undang – undang
3. Perikatan terjadi bukan perjanjian
Dalam berbagai kepustakaan hukum Indonesia memakai bermacam-
macam istilah untuk menterjemahkan verbintenis danovereenkomst, yaitu :
Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Subekti dan Tjiptosudibio menggunakan istilah perikatan untuk verbintenis dan persetujuan untuk overeenkomst.
Utrecht dalam bukunya Pengantar Dalam Hukum Indonesia memakaiistilah Perutangan untukverbintenis dan perjanjian untukovereenkomst.
Achmad Ichsan dalam bukunya Hukum Perdata IB, menterjemahkan verbintenis dengan perjanjian dan overeenkomst dengan persetujuan.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa dalam bahasa Indonesia dikenal tiga istilah terjemahan bagi ”verbintenis” yaitu :
  perikatan
  perutangan
  perjanjian
Sedangkan untuk istilah ”overeenkomst” dikenal dengan istilah terjemahan dalam bahasa Indonesia yaitu :
perjanjian dan persetujuan. Untuk menentukan istilah apa yang paling tepat untuk digunakan dalam mengartikan istilah perikatan, maka perlu kiranya mengetahui makna nya. terdalam arti istilah masing-masing.Verbintenis berasal dari kata kerja
verbinden yang artinya mengikat. Jadi dalam hal ini istilah verbintenis
menunjuk kepada adanya ”ikatan” atau ”hubungan”. maka hal ini dapat dikatakan sesuai dengan definisiverbintenis sebagai suatu hubungan hukum. Atas pertimbangan tersebut di atas maka istilah verbintenis lebih tepat diartikan sebagai istilah perikatan. sedangkan untuk istilah overeenkomst berasal dari dari kata kerja overeenkomen yang artinya ”setuju” atau ”sepakat”. Jadiovereenkomst mengandung kata sepakat sesuai dengan asas konsensualisme yang dianut oleh BW. Oleh karena itu istilah terjemahannya pun harus dapat mencerminkan asas kata sepakat tersebut. Berdasarkan uraian di atas maka istilahovereenkomst lebih tepat digunakan untuk mengartikan istilah persetujuan.
3.      Azas – azas dalam Hukum Perikatan
Asas-asas dalam hukum perikatan diatur dalam Buku III KUH Perdata, yakni menganut azas kebebasan berkontrak dan azas konsensualisme.

v Asas kebebasan berkontrak terlihat di dalam Pasal 1338 KUHP Perdata yang menyebutkan bahwa segala sesuatu perjanjian yang dibuat adalah sah bagi para pihak yang membuatnya dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
v Asas konsensualisme, artinya bahwa perjanjian itu lahir pada saat tercapainya kata sepakat antara para pihak mengenai hal-hal yang pokok dan tidak memerlukan sesuatu formalitas. Dengan demikian, azas konsensualisme lazim disimpulkan dalam Pasal 1320 KUHP Perdata.

Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat adalah
1. Kata Sepakat antara Para Pihak yang Mengikatkan Diri Kata sepakat antara para pihak yang mengikatkan diri, yakni para pihak yang mengadakan perjanjian harus saling setuju dan seia sekata dalam hal yang pokok dari perjanjian yang akan diadakan tersebut.
2. Cakap untuk Membuat Suatu Perjanjian Cakap untuk membuat suatu perjanjian, artinya bahwa para pihak harus cakap menurut hukum, yaitu telah dewasa (berusia 21 tahun) dan tidak di bawah pengampuan.
3. Mengenai Suatu Hal Tertentu Mengenai suatu hal tertentu, artinya apa yang akan diperjanjikan harus jelas dan terinci (jenis, jumlah, dan harga) atau keterangan terhadap objek, diketahui hak dan kewajiban tiap-tiap pihak, sehingga tidak akan terjadi suatu perselisihan antara para pihak.
4. Suatu sebab yang Halal Suatu sebab yang halal, artinya isi perjanjian itu harus mempunyai tujuan (causa) yang diperbolehkan oleh undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum.

4.     Wanprestasi dan Akibat-akibatnya

        Wansprestasi timbul apabila salah satu pihak (debitur) tidak melakukan apa yang diperjanjikan.

Adapun bentuk dari wansprestasi bisa berupa empat kategori, yakni :
1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;
2. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan;
3. Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat;
4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.


        Akibat-akibat Wansprestasi
Akibat-akibat wansprestasi berupa hukuman atau akibat-akibat bagi debitur yang melakukan wansprestasi , dapat digolongkan menjadi tiga kategori, yakni
1.              Membayar Kerugian yang Diderita oleh Kreditur (Ganti Rugi)
Ganti rugi sering diperinci meliputi tinga unsure, yakni
a. Biaya adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh salah satu pihak;
b. Rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditor yang diakibat oleh kelalaian si debitor;
c. Bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh kreditor.
2. Pembatalan Perjanjian atau Pemecahan Perjanjian
Di dalam pembatasan tuntutan ganti rugi telah diatur dalam Pasal 1247 dan Pasal 1248 KUH Perdata.
Pembatalan perjanjian atau pemecahan perjanjian bertujuan membawa kedua belah pihak kembali pada keadaan sebelum perjanjian diadakan.
3. Peralihan Risiko
Peralihan risiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa barang dan menjadi obyek perjanjian sesuai dengan Pasal 1237 KUH perdata.
5.     Hapusnya Perikatan

Pasal 1381
Perikatan Hapus :
Karena pembayaran;
Karena penawaran pembayaran tunai,diikuti dengan penyimpanan atau penitipan; karena pembaruan utang; karena perjumpaan utang atau kompensasi; Karena pencampuran utang; karena pembebasan utang; karena musnahnya barang yang terutang; Karena kebatalan atau pembatalan;

Buku III KUH Perdata mengatur tentang hapusnya perikatanbaik yang timbul dari persetujuan maupun dari undang-undang yaitu dalam pasal 1381 KUH Perdata. Dalam pasal tersebut menyebutkan bahwa ada delapan cara hapusnya perikatan yaitu :
1. Pembayaran
2.Penawaran pembayaran diikuti dengan penitipan.
3.Pembaharuan utang (inovatie)
4.Perjumpaan utang (kompensasi)
5. Percampuran utang.
6. Pembebasan utang.
7.Musnahnya barang yang terutang
8.Kebatalan dan pembatalan perikatan-perikatan.
Adapun dua cara lainnya yang tidak diatur dalam Bab IV Buku III
KUH Perdata adalah :
9.Syarat yang membatalkan (diatur dalam Bab I).
10. Kedaluwarsa (diatur dalam Buku IV, Bab 7).
Jadi dalam KUH Perdata ada sepuluh cara yang mengatur tentang
hapusnya perikatan.
1. Pembayaran
Yang dimaksud oleh undang-undang dengan perkataan”pembayaran” ialah pelaksanaan atau pemenuhan tiap perjanjian secarasukarela, artinya tidak dengan paksaan atau eksekusi. Jadi perkataanpembayaran itu oleh undang-undang tidak melulu ditujukan padapenyerahan uang saja tetapi penyerahan tiap barang menurut perjanjian,dinamakan pembayaran. Bahkan si pekerja yang melakukan pekerjaannyauntuk majikannya dikatakan ”membayar”.
Ada beberapa hal yang harus diketahui mengenai pembayaran
yaitu :
a)Siapa yang harus melakukan pembayaran.
Perikatan selain dapat dibayar oleh debitur, juga oleh setiap orang,baik ia berkepentingan atau tidak. Menurut ketentuan KUH Perdatapasal 1382 ayat 1 bahwa perikatan dapat dibayar oleh yangberkepentingan seperti orang yang turut berutang atau seorangpenanggung utang dan menurut ayat duanya bahwa pihak ketiga yangtidak berkepntingan dalam melakukan pembayaran dapat bertindakatas nama si berutang atau atas nama sendiri. Dalam hal pembayarandilakukan atas nama si berutang berarti pembayaran dilakukan oleh siberutang sendiri, sedangkan pembayaran yang dilakukan atas namasendiri berarti pihak ketigalah yang membayarnya.
Kesimpulannya adalah pihak yang berwajib membayar yaitu :
- Debitur
Pasal 1382 KUH Perdata mengatur tentang orang-orang selain dari
debitur sendiri.
-Mereka yang mempunyai kepentingan, misalnya kawanberutang
(mede schuldenaar) dan seorang penanggung (borg).
-Seorang pihak ketiga yang tidak mempunyai kepentingan, asal saja
orang pihak ketiga itu bertindak atas nama dan untuk melunasi

utangnya debitur atau pihak ketiga itu bertindak atas namanya
sendiri, asal ia tidak menggantikan hak-hak kreditur.
b)Syarat untuk debitur yang membayar.
Pada suatu perjanjian penyerahan hak milik menurut pasal 1384 KUHPerdata maka agar penyerahan itu sah diperlukan syarat-syarat sebagaiberikut :
-Orang yang membayarkan harus pemilik mutlak dari benda yang
diserahkan.
-Orang yang menyerahkan berkuasa memindahtangankan benda
tersebut.
Apabila yang menyerahkan bukan pemilik benda yang bersangkutan,maka kedua belah pihak dapat menyangkal pembayaran tersebut.Pihak yang menyerahkan dapat menuntut kembali apa yang dibayarkandan kreditur dapat menuntut penyerahan banda yang benar-benar milikdebitur. Namun demikian walaupun penyerahan benda dilakukan olehorang yang bukan pemilik, dan bendanya adalah berwujud uang ataubenda yang sifatnya dapat dihabiskan, maka terhadap apa yang telahdibayarkan itu tidak dapat dituntun kembali oleh debitur, apabilakreditur dengan itikad baik telah menghabiskan benda tersebut (Pasal1384 KUH Perdata).
c)Kepada siapa pembayaran harus dilakukan
Pembayaran menurut ketentuan dalam Pasal 1385 KUH Perdata harus
dilakukan kepada :
- Kreditur.
pertama-tama adalah kreditur yang berhak untuk menerimaprestasi. Adakalanya prestasi khusus harus disampaikan atauditujukan kepada kreditur, seperti pengobatan atau jika hal tersebutdiperjanjikan. Pasal 1387 KUH Perdata menentukan bahwapembayaran kepada kreditur yang tidak cakap untuk menerimanyaadalah tidak sah, kecuali jika debitur membuktikan bahwa krediturtelah memperoleh manfaat daripada pembayaran tersebut. Jika
reditur tidak cakap (onbekwaam), maka pembayaran harusdilakukan kepada wakilnya menurut undang-undang. Dalam hal iatidak mempunyai wakil, debitur dapat menunda pembayaran,mengingat tdak adanya orang kepada siapa ia dapat melakukanpembayaran secara sah. Jelas yang dimaksud oleh Pasal 1387 KUHPerdata adalah pembayaran yang berupa melaksanakan suatuperbuatan hukum, dimana kreditur harus memberikan bantuannya,seperti penyerahan hak milik. Sebaliknya ketidakcakapan krediturtidak mempunyai pengaruh, jika debitur tanpa bantuan krediturdapat melaksanakan sendiri prestasinya.
Jika untuk perbuatan ukum diisyaratkan bantuan kreditur, makaketidakcakapan kreditur mengakibatkan pembayaran dapatdibatalkan.
-Orang yang dikuasakan oleh kreditur.
Pembayaran debitur kepada kuasa kreditur adalah sah. Debiturdapat memilih apakah ia akan membayar kepada kreditur ataukepada kuasanya. Jika kreditur menghendaki agar debiturmembayar kepadanya, maka debitur harus memenuhinya, demikianjuga jika kreditur menghendaki agar pembayaran dilakukan kepadakuasanya. Bagaimana halnya, jika debitur membayar kepadaseseorang yang dianggap selaku kuasa dari kreditur, tetapi ternyatabukan?
Pembayaran yang demikian itu adalah sah, jika dari sikap krediturdapat dianggap bahwa orang tersebut mendapatkan kuasa darikreditur.
-Orang yang dikuasakan oleh hakim atau undang-undang untuk
menerima pembayaran tersebut.
Wewenang yang diberikan oleh undang-undang untuk menerimapembayaran bagi kreditur adalah misalnya, curator. Pembayaranyang tidak ditujukan kepada kreditur atau kuasanya tidak sah, dankarenanya debitur masih berkewajiban untuk membayar utangnya.
Dalam tiga hal pembayaran yang tidak ditujukan kepada kredituratau kuasanya tetap dianggap sah, yaitu : (1) krediturmenyetujuinya, (2) kreditur endapatkan manfaat, (3) debiturmembayar dengan itikad baik (Pasal 1386 KUH Perdata).
Sekalipun ketentuan tersebut di atas bersifat umum, akan tetapi tidakberlaku bagi semua pembayaran yang tidak dilakukan kepada atauditerima oleh kreditur atau kuasanya. Contohnya, prestasi kepadapihak ketiga atau prestasi yang berupa untuk tidak berbuat sesuatu atauuntuk melakukan suatu perbuatan hukum sepihak.
d) Obyek pembayaran
Apa yang harus dibayar adalah apa yang terutang. Kreditur bolehmenolak jika ia dibayar dengan prestasi yang lain dari pada yangterutang, sekalipun nilainya sama atau melebihi nilai piutangnya.Pembayaran sebagian demi sebagaian dapat ditolak oleh kreditur.Undang-undang membedakan pembayaran atas :
-Utang barang species.
Debitur atas suatu barang pasti dan tertentu, dibebaskan jika iamemberikan barangnya dalam keadaan dimana barang itu beradapada waktu penyerahan, asal pengurangan barangnya antara saatterjadinya perikatan dan penyerahan tidak disebabkan olehperbuatan atau kelalaian debitur, kesalahan atau kelalaian orangyang menjadi tanggungannya, debitur tidak lalai menyerahkanbarangnya sebelum timbul kekurangan tersebut.
-Utang barang generik.
Debitur atas barang generik tidak harus menyerahkan barang yang
paling baik atau yang paling buruk.
- Utang uang
Uang di sini harus diartikan sebagai alat pembayaran yang sah
19
Pada asasnya pembayaran dilakukan di tempat yang diperjanjikan.Apabila di dalam perjanjian tidak ditentukan ”tempat pembayaran”maka pembayaran terjadi :
-Di tempat di mana barang tertentu berada sewaktu perjanjian
dibuat apabila perjanjian itu adalah mengenai barang tertentu.
-Di tempat kediaman kreditur, apabila kreditur secara tetap
bertempat tinggal di kabupaten tertentu.
-Di tempat debitur apabila kreditur tidak mempunyai kediaman
yang tetap.
Bahwa tempat pembayaran yang dimaksud oleh pasal 1394 KUHPerdata adalah bagi perikatan untuk menyerahkan sesuatu benda bukanbagi perikatan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu.
f)Waktu dilakukannya pembayaran
Undang-undang tidak mengatur mengenai waktu pembayaran danpersetujuanlah yang menentukannya. Jika waktunya tidak ditentukan,maka pembayaran harus dilakukan dengan segera setelah perikatanterjadi.
g) Subrogasi
Penggantian kreditur dalam suatu perikatan sebagai akibat adanyapembayaran disebut subrogasi. Atau dengan kata lain subrogasi adalahpenggantian kedudukan kreditur oleh pihak ketiga. Menurut Pasal1400 KUH Perdata subrogasi terjadi karena adanya pembayaran olehpihak ketiga kepada kreditur. Ketentuan ini sebenarnya tidak sesuaidengan terjadinya subrogasi tersebut dalam Pasal 1401 ayat 2 KUHPerdata, di mana yang membayar adalah debitur sekalipun untuk itu iameminjamuang dari pihak ketiga. Pihak ketiga dapat saja merupakanpihak dalam perikatan, misalnya sama-sama menjadi debitur dalamperikatan tanggung renteng.
Dengan terjadinya subrogasi, maka piutang dengan hak-hakaccessoirnya beralih pada pihak ketiga yang menggantikan kedudukankreditur. menurut Pasal 1403 KUH Perdata subrogasi tidak dapat
mengurangi hak-hak kreditur jika pihak ketiga hanya membayarsebagian dari piutangnya. Bahkan untuk sisa piutangnya itu kreditursemula masih dapat melaksanakan hak-haknya dan mempunyai hakuntuk didahilukan daripada pihak ketiga tersebut. Contoh : Amempunyai utang Rp. 12.000.000,- kepada B dengan jaminan fidusia.Pihak ketiga C membayar sebagian utang A kepada B yaitu sebesarRp. 8.000.000,- Jika kemudian barang yang difidusiakan tersebutdijual laku Rp. 9.000.000,- maka B akan mendapatkan pelunasan lebihdahulu yaitu sebesar Rp. 4.000.000,- dan sisanya Rp. 5.000.000,- baruuntuk C.
Subrogasi dapat terjadi karena persetujuan atau undang-undang (pasal1400 KUH Perdata). Subrogasi karena persetujuan terjadi antarakreditur dengan pihak ketiga atau debitur dengan pihak ketiga.

Sumber:
www.scribd.com/doc/20976269/Definisi-Hukum-Perikatan 


http://www.scribd.com/doc/16733475/Hukum-Perikatan

http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2011/05/hukum-perikatan-12/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar