Disampaikan dalam Proverty Alleviation and
Microfinance Forum-MICRA Indonesia.
www.studentsite.gunadarma.ac.id Koperasi sebagai gerakan ekonomi rakyat, dan
merupakan salah satu pilar ekonomi, selayaknya perlu mendapat perhatian serius
dari pemerintah. Di sisi lain, salah satu upaya pemerintah dalam mengurangi
pengangguran dan mengentaskan kemiskinan dilakukan melalui program-program
pemberdayaan ekonomi rakyat. Dengan demikian, melalui pemberdayaan koperasi
diharapkan akan mendukung upaya pemerintah tersebut. Dalam upayanya, pemerintah
dalam hal ini Kementerian Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah dituntut
untuk dapat menghasilkan program dan kebijakan yang dapat mendukung tumbuh dan
berkembangnya koperasi.
Berdasarkan laporan Statistik Perkembangan
Koperasi tahun 2009 yang diterbitkan oleh Kementerian Koperasi tampak bahwa
perkembangan koperasi di Indonesia mengalami pertumbuhan yang cukup
menggembirakan. Dimana secara kelembagaan Koperasi dalam periode 2007 – 2008
mengalami perkembangan yang signifikan dengan laju perkembangan sebanyak 5.171
unit atau tumbuh 3,45%, selain itu jumlah Koperasi yang aktif juga mengalami
peningkatan sebanyak 3.931 unit atau 3,74%. Hal ini menunjukan bahwa keberadaan
Koperasi sebagai sebuah wadah yang mampu memberikan manfaat bagi setiap orang
yang bergabung didalamnya menjadi sebuah alternative pilihan untuk mencapai
suatu keadaan yang lebih baik .
Perkembangan yang cukup menggembirakan inipun
harus diikuti dengan pengembangan bagi pelaku – pelaku Koperasi itu sendiri,
mengingat pertumbuhan kelembagaan yang tinggi tanpa diikuti dengan kompetensi
dari para pelaku Koperasi memiliki resiko yang sangat tinggi terhadap
perkembangan Koperasi itu sendiri dimasa yang akan datang.
Harus diakui bahwa tidak ada satu aktivitas
apapun yang kita lakukan yang tidak mengandung resiko, namun hal ini tidak
berarti bahwa dengan adanya resiko yang ditimbulkan dari setiap aktivitas
menyebabkan kita tidak melakukan aktivitas apapun guna menghindari resiko yang
akan timbul.
Resiko merupakan bahaya, resiko adalah ancaman
atau kemungkinan suatu tindakan atau kejadian yang menimbulkan dampak yang
berlawanan dengan tujuan yang ingin dicapai. Namun demikian resiko juga harus
dipandang sebagai peluang, yang dipandang berlawanan dengan tujuan yang ingin
dicapai. Jadi kata kuncinya adalah tujuan dan dampak pada sisi yang berlawanan.
Dengan kata lain resiko adalah probabiltas
bahwa “Baik” atau “Buruk” yang mungkin terjadi yang akan berdampak terhadap
tujuan yang ingin kita capai. Untuk itu resiko perlu kita kelola dengan baik
melalui proses yang logis dan sitematik dalam identifikasi, kuantifikasi,
menentukan sikap, menetapkan solusi serta memonitor dan pelaporan resiko yang
berlangsung pada setiap aktivitas atau proses atau yang biasa kita kenal dengan
manajemen resiko.
Kembali pada perkembangan koperasi, walaupun
mengalami perkembangan yang cukup menggembirakan Koperasi senantiasa atau
sering kali terganjal oleh sejumlah masalah klasik. Diantaranya :
1. Lemahnya partisipasi anggota
2. Kurangnya permodalan
3. Pemanfaatan pelayanan
4. Lemahnya pengambilan keputusan
5. Lemahnya Pengawasan
6. Manajemen Resiko
Masalah – masalah tersebut diatas merupakan potensi resiko yang yang tampak dan teridentifikasi, sehingga berangkat dari permasalahan umum tersebut Koperasi seharusnya sudah mampu melakukan mitigasi resiko atas permasalahan tersebut diatas. Selanjutnya bagi Koperasi yang bergerak dalam usaha simpan pinjam baik KSP ataupun USP merupakan industri yang sarat dengan resiko. KSP atau USP sebenarnya adalah miniatur dari perbankan. Yang dikelola hampir sama, yakni uang masyarakat (anggota koperasi) dan kemudian menyalurkan dalam bentuk pinjaman kepada masyarakat (anggota koperasi dan dalam hal Koperasi memiliki kapasitas berlebih maka Koperasi dapat melayani Non Anggota) yang membutuhkan. Dengan resiko tersebut maka sudah selayaknya jika KSP dan USP menerapkan konsep manajemen resiko, sebagai konsekuensi dari bisnis yang penuh dengan resiko. Artinya resiko yang mungkin timbul dimitigasi dengan cara menerapkan manajemen resiko disemua lini dan bidang. Hal ini menunjukan bahwa pengurus dan pengelola KSP / USP sudah selayaknya memiliki kemampuan dalam hal manajemen resiko atau sudah mengikuti program sertifikasi manajemen resiko. Tentunya konsep yang ditawarkan disesuaikan dengan tingkat resiko yang melekat pada bisnis koperasi.
Manajemen Resiko
Fenomena ini tentunya sejalan dengan rencana
penataan modal koperasi, yang seharusnya juga disesuaikan dengan kemajuan
bisnis KSP / USP yang bersangkutan. Semua risiko yang muncul di balik
gemerlapnya bisnis KSP / USP, harus bisa ditutup dengan modal koperasi. Itu
berarti manajemen risiko merupakan back bone menuju koperasi yang sehat.
Maklum, pengalaman tidak menyenangkan yang
menimpa beberapa koperasi memperlihatkan bahwa persoalan manajemen risiko tidak
bisa dianggap enteng. Pengalaman memberi pelajaran berharga bahwa pengelolaan
risiko yang buruk dapat membahayakan kelangsungan koperasi.
Pertanyaannya, risiko apa saja yang harus
di-cover oleh koperasi? Faktor risiko yang melekat pada bisnis koperasi
khususnya KSP / USP, jika dikaji lebih jauh, temyata jumlahnya sangat banyak
(beragam). Di antaranya :
1. Resiko Kredit , resiko ini didefinisikan sebagai resiko
kerugian sehubungan dengan pihak peminjam tidak dapat dan atau tidak mau memenuhi
kewajiban untuk membayar kembali dana yang dipinjamkannya secara penuh pada
saat jatuh tempo atau sesudahnya.
2. Resiko Likuiditas , resiko yang disebabkan Koperasi tidak mempu
memenuhi kewajibannya yang telah jatuh tempo.
3. Resiko Operasional , resiko operasional didefinisikan sebagai
resiko kerugian atau ketidakcukupan proses internal, sumber daya manusia dan
system yang gagal atau dari peristiwa eksternal.
4. Resiko Bisnis , adalah resiko yang terkait dengan posisi
persaingan antar Koperasi dan prospek keberhasilan Koperasi dalam perubahan
pasar.
5. Resiko Strategik , adalah resiko yang terkait dengan keputusan
jangka panjang yang dibuat oleh pengurus dan pengelola.
6. Resiko Reputasional , resiko kerusakan pada Koperasi yang
diakibatkan dari hasil opnini public yang negative.
7. Resiko
Legal
8. Resiko
Politik
9. Resiko
Kepatuhan
Tentunya, penerapan manajemen risiko dalam
operasional koperasi sejalan dengan pertumbuhan bisnisnya. Bagi koperasi ukuran
kecil, penerapan manajemen risiko minimal adalah untuk mereduksi risiko kredit,
risiko likuiditas, serta risiko operasional. Bagi koperasi dengan ukuran dan
kompleksitas bisnis tinggi dan pernah memiliki pengalaman kerugian karena
risiko hukum, reputasi, strategik, dan kepatuhan, yang dapat membahayakan
kelangsungan usahanya, wajib menerapkan manajemen risiko untuk seluruh risiko
yang dimaksud.
Mempersiapkan
Manajemen Resiko
Pada dasarnya risiko masih dapat dikelola.
Pengelolaan risiko adalah upaya yang sadar untuk mengidentifikasi, mengukur,
dan mengendalikan bentuk kerugian yang dapat timbul. Ini merupakan upaya yang
terus-menerus, karena risiko akan dihadapi oleh siapa saja, baik besar maupun
kecil. Ada lima tindakan pokok dalam pengelolaan risiko, yaitu:
1. Identifikasi risiko dan Pemetaan
Resiko . Tindakan ini erat
kaitannya dengan kemampuan kita untuk menganalisa dan memprediksi berbagai
kejadian yang senantiasa dihadapi oleh setiap orang atau Organisasi.
2. Pengukuran risiko dan Peringkat
Resiko . Setelah semua
kejadian kita analisa, dan kemungkinan kerugiannya kita ketahui, langkah
berikutnya adalah mengukur kerugian-kerugian potensial untuk masa yang akan
datang.
3. Menegaskan profil resiko dan rencana
manajemen , hal ini terkait
dengan gaya manajemendan visi strategis dari organisasi.
a. Menghindari. Menghindari risiko biasanya sulit
dilakukan karena tidak praktis dan tidak mungkin.
b. Mengurangi. Mengurangi risiko dapat dilakukan untuk
beberapa hal, misalnya mempersiapkan sejumlah likuiditas pada jumlah tertentu
untuk menjaga kemampuan koperasi guna memenuhi kewajiban yang jatuh tempo, dan memeriksa catatan-catatan keuangan yang ada.
c. Menyebarkan. Menyebarkan risiko dapat dilakukan
dengan beberapa cara yang pada intinya mengurangi risiko kerugian yang akan
terjadi. Misalnya, uang tunai yang ada tidak disimpan pada satu tempat saja,
sebagian di Bank sebagian di Koperasi.
d. Membuat anggapan. Membuat anggapan terhadap risiko adalah
alat yang paling praktis andaikata alternatif-alternatif lain tidak dapat lagi
ditemukan. Misalnya kita membuat anggapan bahwa pada bulan – bulan tertentu
Koperasi harus menghentikan atau mengurangi aktivitas pembiayaannya karena
berpotensi terjadi side streaming atau seba liknya.
e. Mengalihkan. Mengalihkan risiko dapat dilaksanakan
dengan jalan menggunakan pihak lain untuk memikul tanggungan kerugian yang bisa
terjadi. Misalnya penyimpanan uang di Bank atau Koperasi adalah salah satu
bentuk pengalihan risiko yang dapat dilakukan.
5. Pemantauan . Terkait dengan implementasi dari manajemen
resiko telah berjalan baik dan senantiasi dilakukan kajian – kajian dalam upaya
perbaiakn secara continue.
Meningkatkan
kepercayaan
Lalu, bagaimana gerakan koperasi di Indonesia
memulai proyek barunya untuk mulai memasukkan unsur manajemen risiko dalam
bisnis koperasi? Kementerian Negara Koperasi dan UKM bekerja sama dengan
Dekopin semestinya bisa memulainya dengan melakukan sosialisasi, baik kepada
koperasi primer maupun sekunder. Konsepnya bisa belajar banyak dari Badan
Sertifikasi Manajemen Risiko (BSMR) yang sudah berpengalaman dengan sertifikasi
manajemen risiko bagi para bankir. Tentunya, konsep yang telah ada tidak
ditelan mentah-mentah, tapi disesuaikan dengan kebutuhan skala usaha bisnis
koperasi.
Upaya ini tentunya membutuhkan waktu yang
cukup panjang, dan tidak semudah membalikkan tangan. Terlebih, jumlah koperasi
di Indonesia sekarang ini sudah mencapai jutaan. Sosialisasi dan
implementasinya juga tidak mudah dilakukan. Tapi, tidak ada salahnya kalau proyek
besar ini mulai dipikirkan dan menjadi agenda di masa mendatang. Toh, semuanya
ditujukan unluk kemajuan bisnis koperasi itu sendiri. Bayangkan, kalau setiap
koperasi sudah menerapkan manajemen risiko, kualitas koperasi akan semakin
meningkat.
Dengan meningkatnya kepercayaan masyarakat
akan bisnis koperasi, hal itu akan semakin memudahkan koperasi merekrut anggota
baru. Masyarakat akan berlomba-lomba menjadi anggota koperasi, karena sudah
dikelola dengan manajemen yang baik, di mana faktor manajemen risiko sudah
melekat di dalamnya. Yang lebih penting dari itu semua, segenap awak kospin
harus menyadari, kendati manajemen risiko belum diterapkan dalam operasional
koperasi, namun hendaknya sudah mulai melekat dalam bentuk budaya risiko.
Referensi :
· Ferry N. Idroes, “Manajemen Resiko Perbankan,
Pemahaman Pendekatan 3 Pilar Kesepakatan Basel II terkait Aplikasi Regulasi dan
Pelaksanaannya di Indonesia”, Penerbit RajaGrafindo Jakarta, 2008
· Sudidarto, Kontan, 11 July 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar